Pages

Kamis, 03 Februari 2011

KEMISKINAN DAN KETERTINGGALAN

Pendahuluan

Membicarakan kemiskinan di negeri ini memang lebih rumit dari sekedar satu tuntutan untuk sesegera mungkin menyelesaikan persoalan kemiskinan. Kompleksitas mengurai persoalan kemiskinan menjadikan setiap persoalan yang terkait dengan kemiskinan tidak kunjung mendapatkan ujung penyelesaian. Namun begitu, upaya untuk menyelesaikan semua persoalan yang terkait dengan kemiskinan memang harus disikapi satu per satu.. Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus menerus menjadi masalah yang berkepanjangan. Pada umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka.

Sebagaimana kita ketahui, kemiskinan merupakan masalah yang kompleks, karena tidak saja berkenaan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik (powerlessness), ketidakmampuan menyampaikan aspirasi (voicelessness), serta berbagai masalah yang berkenaan dengan pembangunan manusia (human development). Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, mencakupi berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemerintah telah dan sedang melaksanakan sekitar 15 (lima belas) program penanggulangan kemiskinan, termasuk program jaring pengaman sosial (JPS), yakni: Program Inpres Desa Tertinggal (IDT); Program Pengembangan Kecamatan (PPK); Program Kredit Pendayagunaan Teknologi Tepat Guna dalam rangka Pengentasan Kemiskinan (KP-TTG- Taskin); Program Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP); Program Kredit Usaha Tani (KUT); Pogram Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS); Program Operasi Pasar Khusus Beras (OPK-Beras); Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE); Program Beasiswa dan Dana Biaya Operasional Pendidikan Dasar dan Menengah (JPS-Bidang Pendidikan); Program JPS-Bidang Kesehatan; Program Padat Karya Perkotaan (PKP); Program Prakarsa Khusus Penganggur Perempuan (PKPP); Program Pemberdayaan Masyarakat melalui Pembangunan Prasarana Subsidi Bahan Bakar Minyak (PPM-PrasaranaSubsidi BBM); Program Dana Bergulir Subsidi Bahan Bakar Minyak untuk Usaha Kecil dan Menengah; Program Dana Tunai Subsidi Bahan Bakar Minyak (Kompas).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin. Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang. Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

Penyebab Kegagalan Penurunan Kemiskinan

Secara jujur harus diakui bahwa pendekatan pengelolaan program-program penurunan kemiskinan tersebut masih bersifat sentralistik, karena Pemerintah Daerah hanya dilibatkan pada tahap pelaksanaan program melalui alokasi dana dari Pemerintah Pusat, sehingga tanggung jawab Pemerintah Daerah sangat rendah, pengendalian pelaksanaan terlampau lemah, mekanisme pelaksanaannya kurang transparan dan akuntabel, dan para pemanfaat program (beneficaries) tidak mampu melakukan kontrol terhadap keefektifan program yang dilaksanakan.

Sebagai contoh, dalam pelaksanaan program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang ditujukan untuk meningkatkan pengembangan usaha ekonomi produktif penduduk miskin melalui pemberian dana bantuan modal usaha bergulir serta pembangunan prasarana pendukung, pola pengalokasian dana bersifat terpusat tanpa adanya dukungan pembiayaan dari Pemerintah Daerah, sehingga proses internalisasi tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap program penanggulangan kemiskinan masih sangat rendah. Belajar dari pengalaman pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dan program jaring pengaman sosial (social safety-net) tersebut, maka sejalan dengan kebijakan desentralisasi, perlu ditetapkan kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengelolaan program penanggulangan kemiskinan

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penurunan kemiskinan di Indonesia (Ritongga, 2004). Pertama, program-program penurunan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin (RASKIN) dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), dan peningkatan kualitas layanan kesehatan masyarakat, seperti di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas).

Faktor yang kedua adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN. Berdasarkan data konsumsi rumah tangga yang sangat rinci dari Modul Konsumsi SUSENAS yang dilakukan setiap tiga tahun sekali, dan dengan menggunakan metoda pengukuran kemiskinan standar, statistik mengenai kemiskinan di Indonesia secara berkala dihitung. Namun, keterbatasan utama statistik kemiskinan ini adalah data tersebut hanya mewakili suatu wilayah luas, yaitu wilayah perkotaan dan perdesaan di tingkat propinsi. Karena itu data tersebut dianggap kurang bermanfaat bagi kebutuhan praktis penentuan sasaran program atau untuk kebutuhan pengalokasian anggaran. Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.

Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu. Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.

Indikator Analisis Kemiskinan

Analisis kemiskinan sering didasarkan pada indikator tingkat nasional yang dibandingkan antar kurun waktu atau antar negara. Kecenderungan umum yang dapat diidentifikasi dengan menggunakan informasi agregat sangat berguna untuk mengevaluasi dan memantau kinerja suatu negara secara menyeluruh. Tetapi untuk penerapan banyak kebijakan dan untuk kepentingan penelitian, informasi yang dapat ditarik dari indikator agregat tersebut seringkali tidak memadai, karena informasi tersebut tidak mengungkapkan variasi lokal yang nyata tentang kondisi kehidupan di negara tertentu. Peta kemiskinan yang terinci untuk wilayah administrasi kecil berperan penting dalam mengatasi kekurangan analisis kemiskinan agregat melalui hal-hal berikut ini (SMERU, 2003):

(a) Peta kemiskinan menangkap heteroginitas kemiskinan dalam suatu negara tertentu. Semua negara di dunia memiliki wilayah-wilayah yang lebih makmur daripada wilayah lainnya. Perbedaan ini sering tersamarkan dalam statistik nasional. Hasil studi awal SMERU menunjukkan bahwa peta kemiskinan mampu mengungkapkan variasi tingkat kemiskinan di tingkat lokal.

(b) Peta kemiskinan memperbaiki penentuan sasaran intervensi. Sumber-sumber daya untuk program penanggulangan kemiskinan dapat digunakan secara lebih efektif jika kelompok-kelompok yang paling membutuhkan bantuan dapat ditentukan dengan lebih baik. Mencegah kebocoran dari manfaat program jatuh ke rumah tangga yang tidak miskin akan membantu mengurangi resiko rumah tangga miskin terluput dari program.

(c) Peta kemiskinan dapat membantu pemerintah menjelaskan berbagai tujuan kebijakan. Keputusan yang diambil berdasarkan data sebaran geografis kemiskinan akan meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan pemerintah dibandingkan dengan penilaian subjektif tentang perbandingan kemiskinan antar daerah. Karena itu, peta kemiskinan yang dibuat dengan baik dapat menambah kredibilitas pengambilan keputusan pemerintah.

(d) Peta kemiskinan bermanfaat untuk mengevaluasi dampak berbagai program. Hingga saat ini tidak adanya indikator kesejahteraan untuk wilayah kecil yang cukup memadai telah menghalangi para peneliti melakukan kajian mengenai hubungan antara berbagai program, kemiskinan, ketimpangan, dan berbagai dampaknya, misalnya terhadap kesehatan, pendidikan, kejahatan, dan lingkungan. Peta kemiskinan membuka kesempatan lebih luas bagi para peneliti untuk mempelajari hubungan-hubungan tersebut.

Masalah dan tantangan terbesar yang dihadapi dalam pengembangan peta kemiskinan di Indonesia adalah masih sangat terbatasnya keahlian di bidang ini. Disamping itu, upaya meningkatkan kualitas peta yang telah dihasilkan juga masih menjadi tantangan yang harus dijawab. Ini berkaitan langsung dengan keperluan untuk memperbaiki kualitas data dan menggabungkan data GIS seperti misalnya data tata-guna lahan, kualitas tanah, curah hujan, dan sebagainya, kedalam model. Upaya ini membutuhkan integrasi antara data BPS dengan data yang dihasilkan oleh lembaga lain yang saat ini masih sangat sulit untuk dilakukan. Akan tetapi, tantangan lain yang penting adalah bagaimana mengubah persepsi sejumlah pelaku kunci yang berpendapat bahwa peta kemiskinan yang dihasilkan melalui metoda ini tidak terlalu bermanfaat karena dianggap tidak dapat digunakan untuk menetapkan sasaran rumahtangga. Mereka berpendapat bahwa hanya data tingkat rumahtangga saja yang relevan digunakan dalam pelaksanaan program untuk membantu orang miskin, misalnya distribusi beras dalam Program Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Perlu disadari bahwa penetapan sasaran biasanya terdiri dari dua tahap: penetapan sasaran geografis dan sasaran individu. Pemetaan kemiskinan merupakan alat yang efektif untuk penetapan sasaran geografis, tetapi penetapan sasaran individunya harus dilakukan dengan memanfaatkan pengetahuan mengenai keadaan setempat.

Program Penaggulangan Kemiskinan di Indonesia

Selama 30 tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, baik melalui pendekatan sektoral, regional, kelembagaan, maupun strategi dan kebijakan khusus. Pada era Orde Baru misalnya, pembangunan ekonomi merupakan fokus utama pemerintah saat itu, sehingga program-program dan strategi yang dilaksanakan tidak dinyatakan secara resmi untuk tujuan penanggulangan kemiskinan, melainkan hanya diletakkan dalam kerangka pembangunan nasional melalui pendekatan sektoral (Pelita). Baru pada 1994-1998 diperkenalkan secara eksplisit program penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan regional, yaitu IDT (Instruksi Presiden tentang Desa Tertinggal). Saat itu, penggunaan kata ”miskin” disamarkan menjadi ”tertinggal” demi alasan politis. Program IDT ini menyediakan dana Rp 20 juta untuk setiap desa tertinggal yang penggunaannya diputuskan oleh masyarakat desa sendiri untuk membangun infrastruktur desa dan kegiatan ekonomi berbasis kelompok masyarakat. Beberapa program penanggulangan kemiskinan tetap berlangsung meski mengalami perubahan nama dan orientasi kegiatan dan ada pula yang dihentikan sama sekali. Pada umumnya, tidak ada pemberian informasi yang jelas tentang alasan keberlanjutan atau pemberhentian suatu program, dan tidak ada evaluasi dampak program ataupun rencana lebih lanjut setelah program dihentikan. Namun, ditemui juga adanya program yang memiliki rencana terminasi proyek atau pengakhiran kegiatan. Berikut ini adalah beberapa program untuk penurunan kemiskinan (SMERU, 2007).

  1. Program JPS dan OPK

Pada saat krisis ekonomi, pemerintah Indonesia merancang program penanggulangan kemiskinan di bawah payung Program JPS (Jaring Pengaman Sosial), di antaranya untuk bidang pendidikan dan kesehatan, yang diikuti dengan program lainnya, baik dari LSM lokal maupun lembaga keuangan internasional. Beberapa di antaranya masih berlangsung sampai sekarang, walaupun telah beberapa kali mengalami perubahan nama dan orientasi kegiatan.

Salah satu contohnya adalah OPK (Operasi Pasar Khusus), bantuan pangan yang dilaksanakan sejak 1998 sebagai bagian dari Program JPS dalam rangka meminimalisasi dampak krisis ekonomi. Pada 2001, dengan tujuan untuk mempertajam penetapan sasaran, program ini berubah nama menjadi Program Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Berbagai evaluasi dan studi terhadap program OPK dan Raskin menunjukkan kelemahan program tersebut.

  1. Program SLT

Program Subsidi Langsung Tunai (SLT) merupakan program kompensasi kenaikan harga BBM kepada rumah tangga miskin yang diluncurkan pemerintah pada kuartal terakhir 2005. Melalui kantor-kantor cabang PT Pos Indonesia, setiap rumah tangga miskin menerima Rp100.000 per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali (Hastuti et al 2006). Sejak kuartal ketiga 2006, program tersebut sudah berakhir, dan akan digantikan dengan program CCT (Conditional Cash Transfer) atau bantuan dana tunai bersyarat yang pelaksanaannya dikoordinasi oleh Departemen Sosial. SMERU menemukan bahwa masyarakat penerima pada umumnya tidak mengetahui kapan dan mengapa program ini dihentikan, dan apa program kelanjutannya, serta mengapa mereka tidak lagi menerima bantuan SLT tanpa pemberitahuan sebelumnya.

  1. PPK dan P2KP

PPK (Program Pengembangan Kecamatan) dan P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) adalah program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat yang merupakan kerja sama Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia, dan diluncurkan pada kurun waktu 1998-1999 dengan tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan sarana perkotaan (P2KP) dan pedesaan (PPK). PPK dan P2KP terdiri dari beberapa fase dan pada fase terakhir tercakup di dalamnya strategi pengakhiran. Pada program PPK, tujuan strategi pengakhiran adalah terjadinya alih kelola program kepada masyarakat dan pemerintahan daerah agar prinsip, tujuan, dan sistem PPK dapat melembaga sebagai suatu sistem pembangunan partisipatif di desa dan kecamatan (PPK 2006). Sementara itu, pada P2KP, strategi pengakhiran dilakukan pada fase terminasi yang bertujuan untuk menjamin agar indikator keberlanjutan P2KP dapat tercapai. Langkah-langkah penyiapan yang dilakukan pada fase ini di antaranya: evaluasi partisipatif P2KP di tingkat kelurahan, penguatan kembali lembaga lokal, perluasan program oleh masyarakat, dan mengintegrasikan P2KP dengan program lainnya (P2KP n.d.). Namun, rencana strategi pengakhiran kedua program ini menjadi pertanyaan karena pada 2007, seiring dengan pengembangan kebijakan payung (umbrella policy) untuk programprogram pemberdayaan masyarakat, PPK dan P2KP dintegrasikan di bawah payung PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat)

Syarat Keberhasilan Penurunan Kemiskinan

Pemberantasan kemiskinan merupakan masalah pembangunan yang sangat kompleks dan mempunyai dimensi tantangan lokal, nasional maupun global. Upaya mengatasi masalah kemiskinan karenanya tak bisa dilepaskan dari strategi nasional untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di suatu negara. Kita tahu bahwa ada 3 persyaratan pokok bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan:

Pengentasan kemiskinan,

Perubahan pola konsumsi dan produksi yang tidak menunjang keberlanjutan, dan

Perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam secara lestari.

Selain itu program pengentasan kemiskinan juga tak mungkin berjalan tanpa adanya tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance), sebagai dasar bagi terlaksananya pembangunan berkelanjutan di manapun, termasuk dan terutama di Indonesia, yang diantaranya ditandai oleh berjalannya:

sistem pemerintahan yang demokratis, transparan dan bertanggung gugat kepada publik;

kebijakan ekonomi, sosial dan lingkungan yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan partisipatif;

lembaga-lembaga demokratis yang tanggap (responsif) terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat;

peraturan hukum dan perundang-undangan yang ditaati dan dilaksanakan secara konsisten dan adil;

upaya pemberantasan korupsi yang dilaksanakan secara tegas tanpa pandang bulu;

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta hak-hak dan kepentingan masyarakat adat dan kelompok masyarakat rentan.

Ada beberapa langkah strategis yang laksanakan pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan, antara lain; Pertama, pemerintah secara bertahap melakukan pengaturan anggaran pemerintah untuk program kemiskinan. Bukan rahasia lagi banyak sekali program pemerintah pusat dan daerah yang mengatasnamakan program penanggulangan kemiskinan tetapi banyak yang tidak efektif. Oleh karena itu, bersama dengan penyusunan RKP 2008, perencanaan hingga pelaksanaan program dan anggaran untuk kemiskinan akan diperbaiki.

Kedua, peluncuran program nasional yang komprehensif yang menggabungkan 2 program kemiskinan, yaitu Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Pengurangan Kemiskinan di wilayah Perkotaan (P2KP) kedalam satu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Mengingat program ini bersifat open menu, jenis kegiatanya akan ditentukan sendiri oleh masyarakat desa/kelurahan sehingga akan menjawab kebutuhan yang spesifik dalam penaggulangan kemiskinan. Program ini rencananya mencakup 5.263 kecamatan dan 7.123 kelurahan di sekuruh Indonesia.

Ketiga, pemerintah akan mengaitkan program pengembangan energi alternatif dan program penanggulangan kemiskinan. Mengingat sebagian besar kegiatan program ini berkaitan dengan sektor pertanian dan dilakukan di daerah pedesaaan. Program ini dimulai dengan pengembangan desa energi mandiri, pembukakan lahan untuk kelapa sawit, tebu dan jarak sebagai sumber energi alternatif. Tujuan utamanya adalah peningkatan kapasitas keluarga miskin Indonesia dengan meningkatkan asset (kepemilikan lahan) dan pencipta lapangan kerja baru dan sekaligus akses terhadap energi alternatif di luar BBM. Untuk menunjang program tersebut sejumlah intesntif telah dipersiapkan seperti penyediaan subsidi kredit program dalam APBN, pemberian insentif fiscal dalam bentuk investment credit depresiasi dipercepat dan sebagainya.

Keempat, yang paling penting adalah penempatan pembangunan manusia sebagai inti (core) dari pembangunan nasional Indonesia dan program penanggulangan kemiskinan. Seperti kita ketahuai, pemerintah telah melipatgandakan pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan. Menurut laporan study terbaru public expenditure review, jika digabungkan anggaran pemerintah pusat dan daerah, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan telah mencapai 4,5% dari PDB pada tahun 2006 meningkat dari 2 % dari PDB dalam 2004. Tentu dana pendidikan tersebut masih belum cukup terutama untuk mengatasi kekurangan investasi di masa lalu. Namun dalam jangka pendek proritas akan diutamakan untuk mengefektifkan dan mengefesiensikan penggunaan dana yang ada.

Kelima, pemerintahan akan memberikan insentif tambahan berupa bantuan tunai untuk keluarga miskin dalam rangka menjamin kesehatan ibu hamil dan balita sebagai bagian dari pilot proyek BLT bersyarat. Bantuan ini akan ditentukan oleh paramedis dan mencapai target berat dan tinggi sesuai standar. BLB juga akan di kondisikan dengan program pendidikan, artinya keluarga miskin akan mendapatkan BTB kalau anak-anak mereka yang usia sekolah tingkat kehadirannya mencapai 85%. Langkah ini diharapkan meningkatkan net enrollment ratio baik pada usia sekolah dasar maupun SLTP.

Daftar Rujukan

Ritonga, Hamonangan. Mengapa Kemiskinan di Indonesia menjadi Masalah Berkelanjutan.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm

Biro Pusat Statistik. 2004.

SMERU, 2003. Memetakan Kemiskinan Di Indonesia. Lembaga Penelitian SMERU. No. 07:

Jul-Sep/2003

Sri Kusumastuti Rahayu dan Rizki Fillaili. 2007. Strategi Mengakhiri Program: Pengalaman

Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Lembaga Penelitian SMERU. No. 07: Jul-Sep/2007

0 komentar: